Posted by : Unknown
Rabu, 26 Juni 2013
17 TAHUN MENUNGGU, 17 TAHUN MERINDU
Dalam buaian malam hening, Tujuh Belas
tahun yang lalu_
TERDENGAR suara jerit tangis bayi ketika itu. Suara khas
yang indah tersebut menggema di dalam ruang 3 x 4 meter persegi. Ruangan yang
mungkin tidak layak untuk seorang anak manusia terlahir. Beralaskan tikar lusuh
dan berpagar jeruji besi. Ketika itu tepatnya tanggal 28 April 1994, malam
jum’at kliwon pukul 23.30 dalam dekapan malam yang hening bayi yang begitu
cantik, dengan berat badan 3,5 kilogram telah terlahir dengan selamat. Sebut
saja namanya Asna.
~*0*~
MENTARI pagi tampak tersenyum di ufuk timur. Cahanya
melambai mengusap wajah bumi yang gersang, mengusir awan-awan putih yang tebal,
dan menampar wajahku yang masih tergeletak di atas bantal empuk berwarna pink.
Mataku perlahan terbuka. Ku dapati pintu kamar telah terbuka begitu pula dengan
jendela kamarku. Semuanya telah terbuka dan terlihat rapi. Ku alihkan pandangan
pada meja di samping kanan tempat tidurku yang telah terhidang sarapan. Satu piring
nasi goreng dengan hidangan yang cantik dan segelas susu putih sudah
menungguku. Mungkin sejak beberapa waktu yang lalu, ketika Bu Rosidah, ibu
angkatku menghidangkannya untukku.
Makanan yang telah terhidang tidak segera aku santap. Aku
bangkit dari tempat tidur, dan mendekati jendela untuk menerawang panorama pagi
yang indah. Dari kejauhan terlihat ratusan orang tengah memenuhi jalanan hitam
pagi itu. Dengan warna baju yang berbeda-beda memberikan nuansa pagi yang
berbeda pula. Jalanan yang semula hitam menjadi indah berwarna. Memang, ketika
hari minggu telah datang, pagi di Kota Metro sangatlah ramai. Dari orang tua
yang sudah ber-uban lebat sampai anak-anak balita, menyempatkan untuk
berlari-lari kecil di Taman Kota. Mereka tampak begitu bahagia, senyuman,
keringat, dan obrolan terlihat jelas dari wajah mereka.
Ku palingkan pandangan pada sarapan yang telah Ibu
angkatku hidangkan. Aku memakannya sedikit dan aku ganti baju langsung bergegas
pergi menikmati panorama pagi. Saat itu, aku termasuk kedalam kerumunan yang
mewarnai jalanan Taman Kota di pagi hari. Dengan baju kuning dan celana jeans biru aku terus saja berjalan
sembari memandangi muda mudi yang tengah dilanda asmara. Mereka tampak begitu
menikmati obrolannya. Aku terus berjalan. Hingga ku dapati seorang wanita yang
mengenakan baju satu tipe denganku. Kaos yang agak ketat, bercelana jeans, dan mengenakan kerudung yang
mungkin tidak bisa dinamai kerudung, karena sangat kecil dan transparan. Itulah
yang terkadang membuatku malas mengenakan kerudung. Karena banyak perempuan
yang memakai kerudung tetapi tingkah lakuknya sama saja dengan yang tidak
berkerudung, bahkan ada yang lebih parah. Padahal, dulu sangat jarang yang
mengenakan kerudung. Tetapi memang sangat terlihat perbedaan antara keduanya. Lain
dengan sekarang. Mungkin termasuk aku, yang memakai kerudung tetapi masih belum
sesuai dengan ajaran islam.
Aku melihat sebuah tempat duduk, kosong tanpa penghuni.
Tanpa menunggu lama, aku duduk dan memainkan handphone yang aku genggam sedari rumah. Tampak Ibu angkatku
mengirimkan pesan, dia bertanya posisiku dimana. Aku balas sedang jalan-jalan,
setelah itu dia tak lagi mengirim pesan. Ku pencet
handphone ku sekali lagi. Ku
keluarkan headset dan ku dengarkan
lagu. Hingga tiba-tiba aku dikejutkan oleh seorang anak kecil dengan setumpuk
koran di tangannya. Dia tiba-tiba muncul dan menawariku koran yang berharga
hanya 1000 rupiah saja. Aku ambil uang seribu di saku celanaku. Aku memberikan
pada anak tersebut dan dia pun memberiku koran lalu pergi menjauh dengan
meneriakkan “koran”.
Aku merasa sangat berbeda hari ini. Seorang Asna
pagi-pagi membaca koran? Hal yang terbilang tidak masuk diakal. Padahal bagi
Asna namanya membaca adalah hal yang sangat menjemukan.
Lembaran demi lembaran aku buka. Hingga ku temukan
lembaran yang membuat diriku tercengang. “Seorang Napi Perempuan, Melahirkan di
Dalam Bui” itulah judul yang terpampang dengan ukuran yang cukup besar. Hatiku
merasa terpukul membacanya. Tidak bisa dibayangkan anaknya nanti yang berstatus
anak seorang Napi dan terlahir didalam penjara. Pastilah begitu besar beban
moral anaknya tersebut.
Tak lama memikirkan hal tersebut, aku sadar harus segera
pulang. Ada satu hal yang sangat aku tunggu-tunggu selama ini. Hal yang selalu
aku cari tahu tentangnya. Tentang Ibu kandungku. Karena Ibu angkatku akan
menceritakan semuanya hari ini. Tepatnya di usiaku yang sangat manis. Sweat seventeen. 28 April 2011. dengan
koran yang aku pegang ditangan kananku, aku berjalan tanpa memperhatikan
sekitarku. Bahkan temanku Atika memanggil saja aku tidak menanggapinya. Fokusku
saat ini adalah segera sampai ke rumah dan mengetahui yang selama ini aku cari.
Ibu kandungku. Ibu yang telah tega membuang anaknya sendiri. Ibu yang
membiarkan anak kandungnya tidak merasakan ASI dan kasih sayang Ibunya sendiri.
Pukul 07.58 WIB, aku tiba di rumah dan ku dapati seorang
perempuan dengan mata yang berkaca-kaca. Aku tidak tahu siapa perempuan itu.
Bergames hijau dan berjilbab Hitam.
Kulitnya putih langsat. Bibirnya tampak pucat. Sekilas aku memandang,
sepertinya perempuan tersebut adalah perempuan yang paham agama. Tanpa menunggu
lama, dengan penampilanku yang apa adanya. Aku jabat tangan perempuan tersebut
yang tiba-tiba air matanya menetes. Aku benar-benar tidak mengerti ketika itu.
Siapa perempuan tersebut, dan kenapa dia meneteskan air mata ketika melihatku.
Aku tidak seberapa memikirkannya, yang aku pikirkan adalah janji Ibu angkatku
yang akan memberitahu dan menceritakan semuanya tentang aku dan juga tentang
Ibuku yang entah dimana keberadaannya.
“Bu, Ibu Ingat kan, sekarang tanggal berapa?” tanyaku
pada Ibu Rosidah, Ibu angkatku.
Ibu angkatku hanya terdiam. Beliau hanya menganggukkan
kepala yang berarti “Iya”. Ibu angkatku menyuruh aku untuk duduk. Duduk tepat
di samping perempuan yang sangat asing dimataku, walaupun entah mengapa hatiku
seperti begitu dekat dengan perempuan tersebut. Jantungku pasti berdegup
kencang acap kali melihat mata perempuan berjilbab itu. Lago-lagi aku
menepiskan semua hal selain cerita Ibu angkatku.
“Asna, sudah 17 tahun kamu bersama Ibu. Kamu sudah bukan
orang lain bagi Ibu. Kamu sudah seperti anak Ibu sendiri.” Ibu angkatku memulai
dengan linangan air mata yang berderai cukup deras dari matanya. Sebagai sesama
perempuan aku pun tercemplung pada
suasana. Air mataku berlinang, dan lagi-lagi perempuan asing itu pun demikian.
“Sejak kecil Asna selalu bersama Ibu. Apa yang Asna mau
berusaha Ibu penuhi. Asna nakal, Asna tersenyum, Asna menangis, menjadi
kenangan yang sangat sulit untuk Ibu lupakan. Dan ketika nanti Asna harus
pergi, Ibu tidak bisa membayangkan itu semua. Anak yang Ibu besarkan, harus
pergi meninggalkan Ibu seorang diri.” Tambah Ibu angkatku.
Aku semakin tidak mengerti ketika itu. Jujur, aku paling
benci dengan air mata. Tetapi, ketika itu air mata tak bisa lagi terbendung.
Aku menangis, dan ku dekati Ibu angkatku, ku peluk, dan ku cium keningnya.
Sementara Ibu angkatku menangis juga dan memelukku dengan erat.
“Apa kau sudah siap dengan keyantaan ini Na?” tanya Ibu
angkatku dengan suara yang lirih.
“Ini semua sudah seharusnya terjadi, Bu. Siap atau tidak
siap, inilah hal yang selama ini Asna tunggu. Asna mengetahui siapa Ibu kandung
Asna yang dengan teganya membuang anaknya sendiri.” Ujarku keras.
Perempuan yang tidak aku kenal tersebut tercengang.
Ekspresi wajahnya mendadak berubah. Tetapi sekali lagi tidak aku pikirkan hal
tersebut.
“Tapi berjanjilan Na, berjanjilah pada Ibu. Jangan kau
membenci Ibumu. Karena dia melakukan hal ini dengan sangat terpaksa.” Ucap Ibu
angkatku sembari melepas pelukannya.
“Tidak Bu. Bagi Asna, tidak ada yang terpaksa untuk
seorang anak dari seorang Ibu. Menurut Asna ibu kandungku tetaplah bersalah.
Tetaplah bukan Ibu yang baik.” Ujarku sembari menatap tajam mata Ibu angkatku.
Suasana menjadi hening. Ibu angkatku hening, aku hening,
begitu pula dengan perempuan asing itu.
“Maafkan Ibu, Nak....”
Tiba-tiba terdengar suara yang sangat mencengangkan hatiku.
Ucapan tersebut terdengar dari seorang wanita yang sangat asing itu.
“Nak” apa maksudnya ini semua. Aku semakin tidak mengerti
pada wanita berjilbab itu. Mengapa dia memanggilku dengan sebutan itu. Bukankah
yang berhak menggunakannya hanya Ibu angkatku? dan juga Ibu kandungku. Timbul
pertanyaan dalam benakku ketika itu, apakah berati perempuan asing tersebut
adalah..... Tidak!
“Maafkan Ibu, Nak....” ucapnya sekali lagi. Kali ini dia
sembari bergegas bangkit dan memelukku. Aku sangat risih dengan itu semua.
Tidak lama dia memelukku, aku melepaskan pelukkannya seraya menjauhi perempuan
tersebut.
“Siapa kamu? Hanya Ibuku yang berhak memelukku..! kau
sama sekali tidak berhak!” ucapku kasar.
“Asna, anakku.. Maafkan Ibu. Ibu sangat terpaksa
melakukan ini semua..” ucapnya semakin mencengangkan hatiku. Aku benar-benar
tidak percaya kalau dia adalah Ibuku. Ibu kandungku. Ibu yang telah tega menyia-nyiakan
anak kandungnya sendiri.
“Asna... maafkan Ibu...” ucapnya semakin lirih dengan air
mata yang berderai hebat dari matanya.
Mataku basah. Dadaku sesak. Ingin aku hancurkan semua
yang ada dihadapanku ketika itu. Di usiaku yang genap 17 tahun, aku dapati
orang yang selama ini aku sangat penasaran tentangnya. Kini orang tersebut
telah berada tepat di depan wajahku.
“Selama 17 tahun aku kau telantarkan. Selama 17 tahun kau
biarkan aku kehausan kasih sayang dari seorang ibu, Ibu kandung. Dan sekarang,
seperti tak berdosa kau datang, untuk mengambilku? Manusia macam apa kamu?”
ucapku kesal.
“Asna, Ibumu tidak bermaksud melakukan itu semua, Na..”
sahut Ibu angkatku mencoba menenangkanku yang rtengah dikuasai amarah.
“Tidak bermaksud? Tidak bermaksud apa? Alangkah kejamnya
seorang Ibu yang membiarkan anak kandungnya tidak meneguk setetes pun ASI
darinya. Kenapa tidak kau bunuh saja aku ketika lahir? Kenapa?” teriakku.
“Ibu melakukan itu karena Ibu sayang padamu, Na..”
ujarnya sembari mendekatiku.
“Sayang macam apa yang kau berikan? Tidak mungkin ketika
kau sayang, kau malah menelantarkan anakmu sendiri. Sayang macam apa, hah?” aku
semakin tidak terkendali. Aku kalut dalam perasaan.
“Karena Ibu tidak mau kau besar di Bui, Na..” ucapnya
dengan keras, mencoba menenangkanku.
Aku semakin tercengang.
Aku terdiam.
“Karena Ibu tidak mau membesarkanmu di Bui. Ibu ingin kau
seperti anak-anak yang lain. Kau anak Ibu satu-satunya. Ibu tidak mau membuatmu
menderita dengan kondisimu. Itu alasannya Ibu menitipkanmu pada Bu Rosidah.
Teman Ibu yang sangat Ibu percaya. Semua Ibu lakukan karena Ibu tidak ingin
membebanimu dengan status Ibumu yang seorang narapidana.” Ucapnya.
“Jadi...”
Aku tidak berkata apa-apa. Dadaku semakin sesak, dan air
mataku semakin mencucur deras.
“Iya... Kau anak Ibu. Anak seorang Narapidana. Ini yang
selama ini Ibu tidak inginkan. Kau mengetahui kalau kau terlahir di dalam
penjara, dan kau anak seorang narapidana...” ucapnya sembari meraih tubuhku
yang lemah tak berdaya. Pikiranku oleng.
Tubuhku bergetar. Aku benar-benar tidak percaya kalau aku anak seorang
narapidana. Aku terlahir di dalam penjara. Tempat yang sangat aku benci.
“Maafkan Ibu Na...” tangis Ibu kandungku semakin
memuncak. Dia memeluk tubuhku dengan erat. Dia cium keningku, dan menyapu air
mataku.
“Ibu tidak seperti yang kamu bayangkan, Na. Ibu menjadi
Narapidana karena Ibu mencoba menyelamatkanmu ketika masih di dalam perut Ibu.
Ketika ayahmu hendak membunuhmu. Dan untuk menyelamatkanmu, Ibu membunuh
ayahmu. Itupun bukanlah sebuah kesengajaan. Ibu hendak berlari dan mengibaskan
ayahmu hingga ia terjatuh dari lantai dua. Dia langsung meninggal ditempat.
Hingga akhirnya, mertua Ibu, atau orang tua dari ayahmu menjebloskan Ibu
kedalam penjara. Yang ketika itu ibu dalam keadaan hami. Maafkan Ibu, Na. Ini
semua bukanlah kemauan Ibu.” Ujarnya menjelaskan.
Ibu Rosida, Ibu angkatku tak hentinya meneteskan air
mata. Begitu pula dengan aku dan Ibu kandungku. Pada awalnya aku sangat tidak
bisa menerima semuanya. Tetapi aku sadar, inilah aku. Inilah yang harus terjadi
kepadaku. Walau aku anak seorang narapidana, walau aku anak yang terlahir di
dalam penjara. Aku bukanlah orang yang kotor. Aku bukanlah orang yang bersalah.
Semua ini bukan inginku. Semua ini bukan ingin Ibuku, dan semua ini bukanlah
ingin siapa-siapa.
Aku yakin, ketika bisa memilih, tidak ada orang yang
menginginkan hal seperti ini terjadi. Diusiaku yang seharusnya menyenangkan,
kali ini malah aku rasakan kepahitan yang dalam. Walaupun, kepahitan tersebut
lambat laun lenyap karena kasih sayang Bu Aisyah, Ibu KANDUNGKU. Seseorang yang
sangat aku rindukan kehadirannya selama 17 tahun. Seseorang yang sangat aku
tunggu kedatangannya. Seseorang yang sempat paling aku benci. Sosok dalam
sejarah yang begitu memprihatinkan.
Ibu, tak mengapa aku terlahir di penjara.
Karena yang terpenting aku lahir dari rahimmu
Tak mengapa aku anak mantan narapidana
Karena yang terpenting aku anakmu.
Maafkan aku Ibu. Maafkan telah melukai hatimu
Ditengah tiupan angin dan seruan adzan, markas besar
Pelajar Muhammadiyah
29 April 2011, 15.19 WIB